Posted by : ™Nded“Dedi
Rabu, 28 Agustus 2013
Setiap orang pernah dan akan mengalami kedukaan atau ditinggalkan selamanya oleh orang yang dicintai. Ingatlah makin kita mencintai seseorang, makin besar derita duka saat kita ditinggalkan olehnya melalui kematian.
Perasaan kacau balau seperti itu karena cinta yang amat besar kepada orang yang meninggalkan kita. Pemazmur pernah mengungkapkan perasaan seperti itu dengan kata-kata: “Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya, hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku, kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku dan dalam debu maut Kau letakkan aku ( Maz.22: 15 – 16 ).
Jadi kita bisa bayangkan betapa sedih dan hancur orang yang ditinggal mati oleh sang kekasih. Memang itulah harga yang harus dibayar. Harga dari sebuah cinta. Makin besar kita mencintai makin besar pula rasa duka dan pilu karena ditinggalkan sang kekasih !.
Selalu bertanya mengapa?
Biasanya orang yang duka, selalu bertanya kepada siapa saja yang ditemui, termasuk kepada Tuhan: “Mengapa ini harus terjadi, mengapa ini menimpaku, mengapa dia pergi begitu cepat, mengapa Allah membiarkan aku mengalami seperti ini dsb??”. Ini wajar. Tapi ini juga tanda bahwa yang berduka belum siap. Biar sampai kapanpun pertanyaan ini tidak bakalan ada yang bisa menjawab. Siapapun orang yang ditanya juga sami mawon, ndak bakalan bisa menjawab dengan tepat. Kecuali jawaban itu hanya berupa penghiburan yang dangkal saja. Seperti halnya Ayub waktu ia merasakan pedih ditinggal mati oleh 10 anaknya dalam sehari. Ia menjerit dan berseru:” Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku…..mengapa Engkau beperkara dengan aku….” ( Ayub 10: 1, 2 ). Dengan bahasa sehari-hari Ayub mau ngomong begini:” Mengapa kok jadi begini, apa sih dosaku, Tuhan?”. Tapi tidak ada seorangpun yang bisa menjawab. Malah sahabat-sahabatnya mencoba memberi jawab. Jawabannya itu bukannya menghibur tapi malah menyusahkan dan membingungkan Ayub.
Perlu kesadaran baru
Ketahuilah bahwa yang namanya hubungan, apapun itu tidak bisa berlangsung selamanya. Coba lihat saja hubungan transportasi bisa putus karena bermacam sebab. Tanah longsor, pohon tumbang, asap tebal, jembatan putus, jalan hancur lebur dsb. Hubungan kerja suatu saat bisa putus. Kalau tidak di PHK ya di pensiun. Hubungan perkawinan bisa juga putus. Kalau tidak karena perceraian tentu karena kematian. Segala sesuatu yang sifatnya hubungan tentu akan berakhir. Memang paling menyedihkan saat hubungan itu masih hangat-hangatnya tiba-tiba harus terputus karena kematian. Dalam hal ini kita sadar bahwa sebuah cinta harus dibayar dengan harga yang mahal. Cinta bukan hanya merapat dan mendekap tapi juga meratap. Cinta bukan hanya mencium tapi ada kalanya harus maklum. Cinta bukan hanya memiliki tapi juga melepas. Melepas orang yang harus pergi meninggalkan kita selama-lamanya. Dalam hidup ini kita bukannya selalu berkata:”Aku mencintaimu ”.
Tapi juga berani berkata:” Aku merelakan dan melepasmu demi cinta agar kau lebih bahagia”. Kita sadar bahwa kita tidak boleh terus menerus menggenggam orang yang kita cintai. Relakan dia pergi dari pelukan kita. Biarlah dia pergi dengan membawa cinta kita dalam perjalananya. Tidak ada yang dapat mengiringi kepergian orang yang kita cintai, selain cinta itu sendiri. Lihatlah dimana ada kematian di situ ada bunga.
Menyikapi kedukaan
Raja Daud sangat mencintai anak-anaknya. Anak-anaknya memang banyak. Walaupun dia sudah mempunyai banyak anak. Tapi saat anaknya yang baru lahir dari Batsyeba menderita sakit. Dia sangat berduka. Karena dia mencintai anak itu. Untuk itulah Raja Daud berpuasa, semalam-malaman berbaring di tanah ( 2 Samuel 12:16, 17 ). Pikirnya:” Siapa tahu Tuhan berbelas kasihan kepadanya lalu menyembuhkan anak itu”( 2 Samuel 12: 22 ). Seminggu lamanya Daud berbuat seperti itu. Akhirnya anak itu mati. Pegawai-pegawainya sampai takut memberitahukan kematian itu. Takut kalau-kalau Raja Daud mencelakan dirinya sendiri ( 2 Samuel 12: 18 ).
Tapi yang dikuatirkan pegawainya itu tidak terjadi. Malah sebaliknya yang terjadi. Daud mandi, makan, bertukar pakaian lalu masuk ke rumah Tuhan. Mengapa begini? Karena Daud sadar karena cintanya kepada anaknya. Ia harus melepaskan anak itu. Cinta memang berani melepas dan merelakan. Sehingga ia berkata: “Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku” ( 2 Samuel 12: 23 ).
Perbuatan Daud jadi teladan bagi kita dikala duka datang. Kekasihku telah pergi ke rumah Bapa di Surga bersama Yesus. Aku yang akan ke sana menjumpaimu. Cinta memang harus melepas dan merelakan kepergiannya. Bukan dengan air mata tapi dengan senyum dan cinta. Dia pergi ke rumah yang telah disediakan oleh Yesus untuk kita semua. Sampai jumpa di rumah bahagia, rumah cinta kasih, rumah kekal di Surga. Aku tidak lagi meratap karenamu tapi aku terus menatapmu sampai kita tinggal satu atap lagi di rumah Bapa di Surga.
Perasaan kacau balau seperti itu karena cinta yang amat besar kepada orang yang meninggalkan kita. Pemazmur pernah mengungkapkan perasaan seperti itu dengan kata-kata: “Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya, hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku, kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku dan dalam debu maut Kau letakkan aku ( Maz.22: 15 – 16 ).
Jadi kita bisa bayangkan betapa sedih dan hancur orang yang ditinggal mati oleh sang kekasih. Memang itulah harga yang harus dibayar. Harga dari sebuah cinta. Makin besar kita mencintai makin besar pula rasa duka dan pilu karena ditinggalkan sang kekasih !.
Selalu bertanya mengapa?
Biasanya orang yang duka, selalu bertanya kepada siapa saja yang ditemui, termasuk kepada Tuhan: “Mengapa ini harus terjadi, mengapa ini menimpaku, mengapa dia pergi begitu cepat, mengapa Allah membiarkan aku mengalami seperti ini dsb??”. Ini wajar. Tapi ini juga tanda bahwa yang berduka belum siap. Biar sampai kapanpun pertanyaan ini tidak bakalan ada yang bisa menjawab. Siapapun orang yang ditanya juga sami mawon, ndak bakalan bisa menjawab dengan tepat. Kecuali jawaban itu hanya berupa penghiburan yang dangkal saja. Seperti halnya Ayub waktu ia merasakan pedih ditinggal mati oleh 10 anaknya dalam sehari. Ia menjerit dan berseru:” Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku…..mengapa Engkau beperkara dengan aku….” ( Ayub 10: 1, 2 ). Dengan bahasa sehari-hari Ayub mau ngomong begini:” Mengapa kok jadi begini, apa sih dosaku, Tuhan?”. Tapi tidak ada seorangpun yang bisa menjawab. Malah sahabat-sahabatnya mencoba memberi jawab. Jawabannya itu bukannya menghibur tapi malah menyusahkan dan membingungkan Ayub.
Perlu kesadaran baru
Ketahuilah bahwa yang namanya hubungan, apapun itu tidak bisa berlangsung selamanya. Coba lihat saja hubungan transportasi bisa putus karena bermacam sebab. Tanah longsor, pohon tumbang, asap tebal, jembatan putus, jalan hancur lebur dsb. Hubungan kerja suatu saat bisa putus. Kalau tidak di PHK ya di pensiun. Hubungan perkawinan bisa juga putus. Kalau tidak karena perceraian tentu karena kematian. Segala sesuatu yang sifatnya hubungan tentu akan berakhir. Memang paling menyedihkan saat hubungan itu masih hangat-hangatnya tiba-tiba harus terputus karena kematian. Dalam hal ini kita sadar bahwa sebuah cinta harus dibayar dengan harga yang mahal. Cinta bukan hanya merapat dan mendekap tapi juga meratap. Cinta bukan hanya mencium tapi ada kalanya harus maklum. Cinta bukan hanya memiliki tapi juga melepas. Melepas orang yang harus pergi meninggalkan kita selama-lamanya. Dalam hidup ini kita bukannya selalu berkata:”Aku mencintaimu ”.
Tapi juga berani berkata:” Aku merelakan dan melepasmu demi cinta agar kau lebih bahagia”. Kita sadar bahwa kita tidak boleh terus menerus menggenggam orang yang kita cintai. Relakan dia pergi dari pelukan kita. Biarlah dia pergi dengan membawa cinta kita dalam perjalananya. Tidak ada yang dapat mengiringi kepergian orang yang kita cintai, selain cinta itu sendiri. Lihatlah dimana ada kematian di situ ada bunga.
Menyikapi kedukaan
Raja Daud sangat mencintai anak-anaknya. Anak-anaknya memang banyak. Walaupun dia sudah mempunyai banyak anak. Tapi saat anaknya yang baru lahir dari Batsyeba menderita sakit. Dia sangat berduka. Karena dia mencintai anak itu. Untuk itulah Raja Daud berpuasa, semalam-malaman berbaring di tanah ( 2 Samuel 12:16, 17 ). Pikirnya:” Siapa tahu Tuhan berbelas kasihan kepadanya lalu menyembuhkan anak itu”( 2 Samuel 12: 22 ). Seminggu lamanya Daud berbuat seperti itu. Akhirnya anak itu mati. Pegawai-pegawainya sampai takut memberitahukan kematian itu. Takut kalau-kalau Raja Daud mencelakan dirinya sendiri ( 2 Samuel 12: 18 ).
Tapi yang dikuatirkan pegawainya itu tidak terjadi. Malah sebaliknya yang terjadi. Daud mandi, makan, bertukar pakaian lalu masuk ke rumah Tuhan. Mengapa begini? Karena Daud sadar karena cintanya kepada anaknya. Ia harus melepaskan anak itu. Cinta memang berani melepas dan merelakan. Sehingga ia berkata: “Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku” ( 2 Samuel 12: 23 ).
Perbuatan Daud jadi teladan bagi kita dikala duka datang. Kekasihku telah pergi ke rumah Bapa di Surga bersama Yesus. Aku yang akan ke sana menjumpaimu. Cinta memang harus melepas dan merelakan kepergiannya. Bukan dengan air mata tapi dengan senyum dan cinta. Dia pergi ke rumah yang telah disediakan oleh Yesus untuk kita semua. Sampai jumpa di rumah bahagia, rumah cinta kasih, rumah kekal di Surga. Aku tidak lagi meratap karenamu tapi aku terus menatapmu sampai kita tinggal satu atap lagi di rumah Bapa di Surga.